Pendahuluan
Hampir setiap hari koran maupun telivisi
memberitakan kasus-kasus kriminalitas yang menimpa masyarakat. Bentuknya
beragam. Ada perampokan, pemerasan, perampasan, penjambretan, pembunuhan,
perkosaan, pencopetan, penganiayaan, dan kata lain yang mengandung unsur
pemaksaan, atau kekerasan terhadap fisik ataupun harta benda korban.
Kriminalitas berasal
dari kata “crimen” yang berarti kejahatan. Berbagai sarjana telah berusaha
memberikan pengertian kejahatan secara yuridis berarti segala tingkah laku
manusia yang dapat dipidana ,yang diatur dalam hukum pidana.
Banyak sudut pandang yang digunakan untuk
memberikan penjelasan fenomena tindakan kriminal yang ada. Pada kesempatan ini
saya mencoba dari sisi psikologis pelakunya. Sudut pandang ini tidak
dimaksudkan untuk memaklumi tindakan kriminalnya, melainkan semata-mata hanya
sebagai penjelasan.
Ragam Pendekatan Teori Psikologis Perilaku Kriminalitas
Penjelasan tentang perilaku kriminalitas telah
diberikan oleh para ahli dari berbagai latar belakang sejak sejarah
kriminalitas tercatat. Penjelasan itu diberikan oleh folosof, ahli genetika,
dokter, ahli fisika, dan sebagainya. Bermula dari berdirinya psikologi sebagai
ilmu pengetahuan, dan beberapa kajian sebelumnya yang terkait dengan perilaku
kriminal, maka pada tulisan ini disampaikan beberapa padangan tentang perilaku
kriminal.
A.
Pendekatan Tipologi Fisik / Kepribadian
Pendekatan tipologi ini memandang
bahwa sifat dan karakteristik fisik manusia berhubungan dengan perilaku
kriminal. Tokoh yang terkenal dengan konsep ini adalah Kretchmerh dan
Sheldon: Kretchmer dengan constitutional personality, melihat
hubungan antara tipe tubuh dengan kecenderungan perilaku. Menurutnya ada tiga
tipe jarigan embrionik dalam tubuh, yaitu endoderm berupada sistem
digestif (pencernaan), Ectoderm: sistem kulit dan syaraf, dan Mesoderm yang
terdiri dari tulang dan otot. Menurutnya orang yang normal itu memiliki
perkembangan yang seimbang, sehingga kepribadiannya menjadi normal. Apabila
perkembangannya imbalance, maka akan mengalami problem kepribadian.
William Shldon (1949) , dengan teori Tipologi Somatiknya, ia bentuk tubuh
ke dalam tiga tipe, yaitu :
a. Endomorf: Gemuk (Obese),
lembut (soft), and rounded people, menyenangkan dan sociabal.
b. Mesomorf : berotot (muscular),
atletis (athletic people), asertif, vigorous, and bold.
c. Ektomorf : tinggi (Tall), kurus
(thin), and otk berkembang dengan baik (well developed brain), Introverted,
sensitive, and nervous.
Menurut Sheldon, tipe mesomorf
merupakan tipe yang paling banyak melakukan tindakan kriminal.
Berdasarkan dari dua kajian di atas, banyak kajian tentang perilaku
kriminal saat ini yang didasarkan pada hubungan antara bentuk fisik dengan
tindakan kriminal. Salah satu simpulannya misalnya, karakteristik fisik pencuri
itu memiliki kepala pendek (short heads), rambut merah (blond hair),
dan rahang tidak menonjol keluar (nonprotruding jaws), sedangkan
karakteristik perampok misalnya ia memiliki rambut yang panjang bergelombang,
telinga pendek, dan wajah lebar. Apakah pendekatan ini diterima secara
ilmiah? Barangkali metode ini yang paling mudah dilakukan oleh para ahli
kriminologi kala itu, yaitu dengan mengukur ukuran fisik para pelaku
kejahatan yang sudah ditahan/dihukum, orang lalu melakukan pengukuran dan hasil
pengukuran itu disimpulkan.
B.
Pendekatan Pensifatan / Trait Teori tentang
kepribadian
Pendekatan ini menyatakan bahwa
sifat atau karakteristik kepribadain kepribadian tertentu berhubungan dengan
kecenderungan seseorang untuk melakukan tindakan kriminal. Beberapa ide tentang
konsep ini dapat dicermati dari hasil-hasil pengukuran tes kepribadian.
Dari beberapa penelitian tentang kepribadian baik yang melakukan teknik
kuesioner ataupun teknik proyektif dapatlah disimpulkan kecenderungan
kepribadian memiliki hubungan dengan perilaku kriminal. Dimisalkan orang yang
cenderung melakukan tindakan kriminal adalah rendah kemampuan kontrol dirinya,
orang yang cenerung pemberani, dominansi sangat kuat, power yang lebih,
ekstravert, cenderung asertif, macho, dorongan untuk memenuhi kebutuhan fisik
yang sangat tinggi, dan sebagainya. Sifat-sifat di atas telah diteliti
dalam kajian terhadap para tahanan oleh beragam ahli. Hanya saja, tampaknya
masih perlu kajian yang lebih komprehensif tidak hanya satu aspek sifat
kepribadian yang diteliti, melainkan seluruh sifat itu bisa diprofilkan secara
bersama-sama.
C.
Pendekatan Psikoanalisis
Freud melihat bahwa perilaku
kriminal merupakan representasi dari “Id” yang tidak terkendalikan oleh ego dan
super ego. Id ini merupakan impuls yang memiliki prinsip kenikmatan (Pleasure
Principle). Ketika prinsip itu dikembangkannya Super-ego terlalu lemah
untuk mengontrol impuls yang hedonistik ini. Walhasil, perilaku untuk
sekehendak hati asalkan menyenangkan muncul dalam diri seseorang. Mengapa
super-ego lemah? Hal itu disebabkan oleh resolusi yang tidak baik dalam
menghadapi konflik Oedipus, artinya anak seharusnya melakukan belajar dan
beridentifikasi dengan bapaknya, tapi malah dengan ibunya. Penjelasan
lainnya dari pendekatan psikoanalis yaitu bahwa tindakan kriminal disebabkan
karena rasa cemburu pada bapak yang tidak terselesaikan, sehingga individu senang
melakukan tindak kriminal untuk mendapatkan hukuman dari bapaknya.
Psikoanalist lain (Bowlby:1953) menyatakan bahwa aktivitas kriminal
merupakan pengganti dari rasa cinta dan afeksi. Umumnya kriminalitas dilakukan
pada saat hilangnya ikatan cinta ibu-anak.
D.
Pendekatan Teori Belajar Sosial
Teori ini dimotori oleh Albert
Bandura (1986). Bandura menyatakan bahwa peran model dalam melakukan
penyimpangan yang berada di rumah, media, dan subcultur tertentu (gang)
merupakan contoh baik tuntuk terbentuknya perilaku kriminal orang lain.
Observasi dan kemudian imitasi dan identifikasi merupakan cara yang biasa
dilakukan hingga terbentuknya perilaku menyimpang tersebut. Ada dua cara
observasi yang dilakukan terhadap model yaitu secara langsung dan secara tidak langsung
(melalui vicarious reinforcement)Tampaknya metode ini yang paling
berbahaya dalam menimbulkan tindak kriminal. Sebab sebagian besar perilaku
manusia dipelajari melalui observasi terhadap model mengenai perilaku tertentu.
E.
Pendekatan Teori Kognitif
Pendekatan ini menanyakan apakah
pelaku kriminal memiliki pikiran yang berbda dengan orang “normal”? Yochelson
& Samenow (1976, 1984) telah mencoba meneliti gaya kognitif (cognitive
styles) pelaku kriminal dan mencari pola atau penyimpangan bagaimana
memproses informasi. Para peneliti ini yakin bahwa pola berpikir lebih pentinfg
daripada sekedar faktor biologis dan lingkungan dalam menentukan seseorang
untuk menjadi kriminal atau bukan.
Dengan mengambil sampel pelaku kriminal seperti ahli manipulasi (master
manipulators), liar yang kompulsif, dan orang yang tidak bisa mengendalikan
dirinya mendapatkan hasil simpulan bahwa pola pikir pelaku kriminal itu
memiliki logika yang sifatnya internal dan konsisten, hanya saja logikanya
salah dan tidak bertanggung jawab. Ketidaksesuaian pola ini sangat beda antara
pandangan mengenai realitas.
Faktor Penyebab Perilaku Kriminalitas
Banyak ahli yang telah memberikan jawaban atas
pertanyaan mengapa orang melakukan tindakan kriminal. Faktor penyebabnya
antara lain :
- Kemiskinan
merupakan penyebab dari revolusi dan kriminalitas (Aristoteles)
- Kesempatan
untuk menjadi pencuri (Sir Francis Bacon, 1600-an)
- Kehendak
bebas, keputusan yang hedonistik, dan kegagalan dalam melakukan kontrak
sosial (Voltaire & Rousseau, 1700-an)
- Atavistic
trait atau Sifat-sifat antisosial bawaan sebagai penyebab perilaku
kriminal ( Cesare Lombroso, 1835-1909)
- Hukuman yang
diberikan pada pelaku tidak proporsional (Teoritisi Klasik Lain)
Kiranya tidak ada
satupun faktor tunggal yang menjadi penyebab dan penjelas semua bentuk
kriminalitas yang terjadi di masyarakat. Tetapi terdapat dua teori yang yang
mencoba menjelaskan mengapa seseorang berperilaku kriminal, yaitu :
-
Teori pertama yaitu
dari Deutsch & Krauss, 1965) tentang level of aspiration. Teori
ini menyatakan bahwa keinginan seseorang melakukan tindakan ditentukan
oleh tingkat kesulitan dalam mencapai tujuan dan probabilitas subyektif
pelaku apabila sukses dikurangi probabilitas subjektif kalau gagal.
Teori ini dapat dirumuskan dalam persama seperti berikut:
V = (Vsu X SPsu) – (Vf X SPf)
Dimana: V = valensi = tingkat aspirasi
seseorang su = succed = suksesf = failure =
gagalSP = subjective probability
Teori di atas, tampaknya cocok untuk menjelaskan
perilaku kriminal yang telak direncanakan. Karena dalam rumus di atas peran
subyektifitas penilaian sudah dipikirkan lebih dalam akankah seseorang
melakukan tindakan kriminal atau tidak.
- Teori kedua yaitu perilaku yang tidak
terencana dapat dijelaskan dengan persamaan yang diusulkan oleh kelompok
gestalt tentang Life Space yang dirumuskan B=f(PE). Perilaku merupakan
fungsi dari life-spacenya. Life space ini merupakan interaksi antara
seseorang dengan lingkungannya. Mengapa model perilaku Gestalt
digunakan untuk menjelaskan perilaku kriminal yang tidak berencana?
Pertama, pandangan Gestalt sangat mengandalkan aspek kekinian. Kedua,
interaski antara seseorang dengan lingkungan bisa berlangsung sesaat.
Ketiga, interaksi tidak bisa dilacak secara partial.
Hubungan Kejahatan dan Proses Kriminalisasi
Hubungan
antara kejahatan dan proses kriminalisasi secara umum dijelaskan dalam konsep
“penyimpangan” ( deviance ) dan reaksi sosial. Kejahatan dipandang sebagai
bagian dari “penyimpangan sosial” dengan arti tindakan yang bersangkutan
“berbeda” dengan tindakan orang pada umumnya dan terhadap tindakan menyimpang
ini diberlakukan reaksi yang negatif dari masyarakat.
Menurut
pendekatan “konflik” orang berbeda karena kekuasaan yang dimilikinya dalam
perbuatan dan bekerjanya hukum. Secara umum dapat dijelaskan bahwa mereka yang
memiliki kekuasaan yang lebih besar dan mempunyai kedudukan yang tinggi dalam
mendifinisikan kejahatan adalah sebagai kepentingan yang bertentangan dengan
kepentingan dirinya sendiri. Secara umum kejahatan sebagai kebalikan dari kekuasaan;
semakin besar kekuasaan seseorang atau sekelompok orang semakin kecil
kemungkinannya untuk dijadikan kejahatan dan demikian juga sebaliknya.
Orientasi
sosio-psikologis teori ini pada teori-teori interaksi sosial mengenai
pembentukan kepribadian dan konsep “proses sosial” dari perilaku kolektif.
Dalam pandangan teori ini bahwa manusia secara terus menerus berlaku uintuk
terlibat dalam kelompoknya dengan arti lain hidupnya merupakan bagian dan
produk dari kumpulan kumpulan kelompoknya. Kelompok selalu mengawasi dan
berusaha untuk menyeimbangkan perilaku individu-individunya sehingga menjadi
suatu perilaku yang kolektif.
Dalam
perkembangan lebih lanjut aliran ini melahirkan teori “kriminologi Marxis”
dengan dasar 3 hal utama yaitu; (1) bahwa perbedaan bekerjanya hukum merupakan
pencerminan dari kepentingan rulling class (2) kejahatan merupakan akibat dari
proses produksi dalam masyarakat, dan (3) hukumj pidana dibuat untuk mencapai
kepentingan ekonomi dari rulling class.
Hukum pidana
dilihat sebagai ilmu kemasyarakatan tidak terlepas dari sebab-sebab dari
kejahatan (Kriminology). Didalam Etiology terdapat beberapa aliran
(mazhab=sekolah) tentang sebab-sebab kejahatan antara lain
1. Aliran
Biologi-Kriminal (mazhab Italia), penganjurnya adalah DR. C. Lombrosso
yang menyimpulkan bahwa memang ada orang jahat dari sejak lahir dan tiap
penjahat mempunyai banyak sekali sifat yang menyimpang dari orang-orang biasa.
2. Aliran
Sosiologi-Kriminil (mazhab Prancis), penganjurnya A.Lacassagne, aliran
ini menolak aliran diatas dengan mengeluarkan pendapat bahwa seseorang pada
dasarnya tidak jahat, ia akan berbuat jahat disebabkan karena susunan, corak
dan sifat masyarakat dimana penjahat itu hidup.
3. Aliran
Bio-Sosiologis, penganjurnya adalah E. Feri, aliran ini merupakan
sintesa dari kedua aliran diatas yang menyimpulkan kejahatan itu adalah hasil
dari factor-faktor individual dan sosial.
Hubungan Kriminalitas dengan Berbagai Gejala di Masyarakat
a. Kriminalitas
dan jenis kelamin
Berbagai Negara pada tahun 1930-an menunjukkan prosentase wanita yang
dijatuhi hukuman pidana berkisar antara 5-12% dan di beberapa Negara lain yang
tinggi prosentasenya berada diantara 15-25,5%. Untuk Indonesia dapat dilihat
pada statistic narapidana dan tahanan tahun 1971-1976 menunjuk angka 2-3%.
Angka tersebut merupakan keseluruhan, dan kalu diperinci ke dalam
bermacam-macam delik tertentu, mungkin terrdapat angka yang cukup tinggi pada
wanita karena sifat khusus dari deliknya, misalnya abortus.
Telah banyak penjelasan mengenai kenyataan ini diberikan, dan dapat
dikelompokkan ke dalam tiga kategori :
1.
Sebenarnya kriminalitas yang dilakukan oleh wanita
lenih tinggi dari yang ada nilai angka statistik yang dikemukakan HURWITZ bahwa
prostitusi harus pula dihitung sebagai kriminalitas, dengan demikian maka angka
kriminalitas wanita pasti akan meningkat, tetapi kiranya hal ini tidak adil
kalau tidak juga mengikutsertakan pria yang terlibat. Mengapa pula hanya WTS
(wanita tuna susila) yang harus dituntu tanpa melibatkan PTSnya (pria tuna
susila).
2.
Kondisi lingkungan bagi wanita ditinjau dari segi
kriminologi lebih menguntungkan daripada kondisi bagi pria. Perkawinan
merupakan faktor anti irinogen, yang menjadi perdebatan para ahli dan juga
wanita dibandingka pria, angka partisipasinya dalam masyarakat lebih rendah.
3.
Sifat wanita sendiri membawa pengaruh rendahnya angka
kriminalitas
Faktor fisik yang lemah kurang cocok untuk delik-delik agresi, kecuali delik
agresi yang dilakukan dengan kata-kata, senjata, peracunan dan sebagainya.
Faktor psikis menurut HEYMANS wanita mempunyai variasi yang lebih sempit dalam
hal ciri-ciri psikis daripada pria, sehingga baik pada sisi ekstern dari
variasi tersebut yang baik maupun buruk jarang terdapat pada wanita.
b. Kriminalitas
dan cacat tubuh
Mengenai cacat tubuh ini dapat dibedakan antara yang diderita sejak
kelahirannya (walaupun bukan sesuatu yang diwarisi) dan yang diperoleh dalam
perjalanan hidupnya, dan yang diperoleh karena pengaruh luar, seperti kecelakaan
dan sebagainya.
Dengan demikian, maka angka statistik yang tercatat sulit untuk dapat
dipercaya bilamana kita hendak meneliti korelasi antara kriminalitas dengan
cacat tubuh itu. Tetapi walaupun demikian berdasarkan studi kasus dan studi
secara mendalam dapat pula diperoleh gambaran untuk hal itu. Ternyata
seringkali cacat tubuh itu berdampingan dengan penyimpangan psikis. Mungkin ini
sebagai akibat dari faktor bakat, tetapi mungkin juga terjadi justru karena
pengaruh cacat tubuh maka timbul perubahan psikis.
Cacat tubuh yang mungkin merupakan faktor kriminogen antara lain :
1.
Wajah
Penderitaan ini mungkin menimbulkan delik-delik ekonomis, dan khusus untuk pria
delik seksual karena wajah jelek maka kesempatan untuk memilih pekerjaan
menjadi lebih sempit. VON HENTIG mengatakan khususnya untuk wanita, maka karena
wajah yang buruk, diperlukan lebih banyak uang untuk mempercantik diri yang
dapat mengarah kepada delik ekonomis. Karena wajah jelek, maka tidak dapat
menarik lawan jenisnya, karena wajah buruk dan mendapat hinaan atau tolakan,
bisa menimbulkan delik seksual.
2.
Tuli
Untuk orang bisu tuli dapat diperkirakan bahwa pada awalnya mengurangi
kesempatan timbulnya kriminalitas, yaitu pada waktu masih kecil dan
disembunyikan oleh keluarganya, tetapi kemudian meningkatkan angka kriminalitas
setelah dewasa.
3.
Buta
Walaupun kemungkinan dorongan delik agresi besar, yaitu sebagai akibat rasa
tersinggung dan sebagainya, tetapi pelaksanaannya menjumpai kesulitan. Untuk
orang buta ini “kejahatan” yang dilakukan adalah pengemisan.
c. Keluarga
dan hubungan keluarga
1. Situasi
keluarga
Keluarga merupakan kelompok terkecil dan yang paling intensif dalam
membentuk kebiasaan. Orang tua merupakan kekuasaan yang besar sebagai sarana
untuk memaksakan perilaku koniormistis bagi anak-anaknya baik yang masih kecil
maupun para remaja, sebelum memisahkan diri sebagai keluarga sendiri. Pengaruh
yang diterapkan di dalam keluarga adalah melalui : asosiasi, asimilasi, imitasi
dan juga paksaan.
2. Besarnya
keluarga
Anggota dari suatu keluarga yang besar lebih banyak kemungkinannya untuk
melakukan kriminalitas :
a)
Keluarga yang besar pada umumnya menderita tekanan
ekonomi yang lebih besar daripada keluarga kecil
b)
Anak-anak kurang mendapatkan waktu untuk memperoleh
perhatian dari orang tua
c)
Kenakalan anak dari keluarga besar tidak banyak
perhatian baik orang tuanya maupun masyarakat sekelilingnya
d)
Kemungkinan untuk berkonflik dengan lingkungan
tetangganya lebih besar, demikian pula orang tuanya. Kenakalan seorang anak
terhadap anak tetangganya dapat menimbulkan konflik antar tetangga.
Menurut NOACH, keluarga besar, baik untuk orang tua maupun anak-anak
merupakan faktor kriminogen. Tetapi anak tunggal mempunyai kemungkinan lebih
tinggi untuk menjadi kriminal.
a)
Menurut perbandingan keluarga yang besar lebih banyak
terdapat pada golongan rendah daripada golongan atas
b)
Pada golongan bawah, keluarga yang besar belum tentu
merupakan hal yang memberatkan secara ekonomis
c)
Karena hubungan masyarakat gotong royong yang kuat
d)
Konflik-konflik antar tetangga sebagai akibat kenakalan
anak juga kurang
d. Kriminalitas
dan umur
Pembagian umur berdasarkan angka tahun kiranya kurang tepat, karena
pertambahan tidak selalu sama dengan kedewasaan lebih baik kalau pembagian itu
berdasarkan stadium dalam kehidupan :
a)
Masa kanak-kanak, masa remaja, tahun-tahun pertama
sebagai orang dewasa
b)
Masa dewas penuh, dan masa usia lanjut
e. Residivis
Dapat diperkirakan bahwa mereka yang baru mulai untuk pertama kali
menjadi kriminal pada usia dewasa, kemungkinan-kemungkinannya menjadi residivis
lebih kecil, karena :
a)
Waktu untuk melakukan kmbali kejahatan atau menjadi
residivis relatif pendek
b)
Pola watak pada masa dewasa telah mantap
c)
Kriminalitas yang dilakukan dan diketahui orang tidak
jarang hanya merupakan masalah kondisi yang kebetulan, dan bukannya kondisi
yang berulang
Kriminalitas sebagai Habbit dan Professional
Dengan
berpangkal tolak pada frekuensi, orang-orangnya dapat kita bagi menjadi:
1. Mereka
yang tidak melakukan perbutan kriminal
2. Mereka
yang hanya sekali melakukan perbuatan kriminal
3. Mereka
yang lebih dari sekali mlakukan perbuatan kriminal
Dari ketiga
kelompok pendirian itu, selanjutnya hanya akan membicarakan kelompok yang
ketiga, yaitu yang disebut residivis.
SUTHERLAND
mengatakan sebagai ciri dari penjahat professional adalah : secara teratur
setiap hari melakukan persiapan dan pelaksanaan deliknya. Disamping itu
SUTHERLAND mempersyaratkan : mereka harus memiliki kemampuan teknik untuk
melakukan delik tersebut, memeliharanya dan meningkatkan kemampuan tersebut,
juga ada keinginan untuk menjadi terpandang di dalam lingkungan pada delinkuen,
serta kemampuan tekniknya ini.
Penjahat
profesional adalah mereka yang kegiatannya meliputi mempersiapkan dan
melaksanakan perbuatan jahatnya. Penjahat karena kebiasaan, disamping kegiatan
mempersiapkan dan melaksanakan delik ini juga masih ada kegiatan lainnya.
Meskipun
secara teoritis dapat dibuat pembedaan antara penjahat profesional dan penjahat
kebiasaan, dalam praktek sangatlah sulit untuk dilakukan pemisahannya. Hanya
dengan studi kasus dapat ditentukan apakah penuntutan dari tiap pelaku
kejahatan bahwa ia mempunyai suatu pekerjaan atau melakukan kegiatan yang tidak
kriminal secara teratur memang cocok dengan kenyataannya.
Untuk
menjelaskan terjadinya pejahat kebiasaan dan penjahat profesional, kita harus
kembali pada peristiwa yang terjadi sesudah dilakukannya perilaku kriminal oleh
seorang di dalam kehidupannya. Dari situ dapat dibedakan :
1. Perilaku
kriminal yang mengakibatkn reaksi dari lingkungannya dan ditujukan kepada
pelakunya. Reaksi ini kebanyakan dapat menunjukkan tingkatan yang berada
diantara sekedar celaan sampai pada ditolak oleh kelompoknya, walaupun tidak
perlu harus terjadi bahwa disamping reaksi kelompok ini juga merupakan reaksi
masyarakat dalam bentuk dibawa ke muka pengadilan.
2. Perilaku
kriminal yang tidak menimbulkan reaksi semacam itu
Dengan tidak adanya reaksi , maka oleh si pelaku tidak mengetahui bahwa ia
telah melakukan perbuatan yang dilarang, atau mendapatkan keyakianan bahwa
kelompok ataupun masyarakatnya tidak mempunyai kekuasaan untuk memaksakan
normanya.
Disamping kelompok kriminal yang umum, masih ada beberapa lagi yang
kriminalitasnya dilakukan di dalam satu atau beberapa daerah, yang terpenting
diantaranya adalah ;
1.
Gerombolan
Yang dimaksud disini adalah kelompok individu yang bertindak dalam ikatan yang
terorganisasi, yang perbuatannya keluar secara relative di dalam ruang lingkup
kejahatan dan perilaku. Dan gerombolan ini paling tidak merupakan gekala yang
terbatas di dalam zaman modern ini atau terbatas pada satu atau beberapa
Negara.
2.
Pelacuran
Mengikuti pendapat NORWOOD EAST kita dapat memberikan batasan prostitusi itu
sebagai ; hubungan seksual tanpa pilih-pilih dengan mendapatkan pembayaran, ini
mengandung arti :
a)
Tanpa pilih-pilih individu yang sudah melacurkan diri
hanya dalam hal yang ekstrim saja mempunyai langganan tetap
b)
Hubungan seksual setiap perbuatan yang memuaskan nafsu
seksual
c)
Dengan pembayaran biasanya pembayaran material dan
bentuk uang
Cara Penanganan Perilaku Kriminalitas
Kriminalitas tidak bisa dihilangkan dari muka
bumi ini. Yang bisa hanya dikurangi melalui tindakan-tindakan pencegahan.
a.
HukumanSelama ini
hukuman (punishment) menjadi sarana utama untuk membuat jera pelaku
kriminal. Dan pendekatan behavioristik ini tampaknya masih cocok untuk
dijalankan dalam mengatasi masalah kriminal. Hanya saja, perlu kondisi
tertentu, misalnya konsisten, fairness, terbuka, dan tepat waktunya.
b.
Penghilang Model melalui
tayangan media masa itu ibarat dua
sisi mata pisau . Ditayangkan nanti penjahat tambah ahli, tidak ditayangkan
masyarakat tidak bersiap-siap.
c.
Membatasi Kesempatan
Seseorang bisa mencegah terjadinya tindakan kriminal dengan membatasi munculnya
kesempatan untuk mencuri. Kalau pencuri akan lewat pintu masuk dan kita sudah
menguncinya, tentunya cara itu termasuk mengurangi kesempatan untuk
mencuri.
d.
Jaga diri Jaga diri
dengan ketrampilan beladiri dan beberapa persiapan lain sebelum terjadinya
tindak kriminal bisa dilakukan oleh warga masyarakat. Cara-cara di atas
memang tidak merupakan cara yang paling efektif, hanya saja akan tepat bila
diterapkan kasus perkasus.